Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.
Larik (atau baris)
mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa
berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat.
Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat,
tapi pada puisi baru tak ada batasan.
Bait merupakan kumpulan
larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan
makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat
buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
Bunyi dibentuk oleh rima dan irama.
Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait.
Irama (ritme) adalah
pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi.
Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut
dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan
bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena
sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa
rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya
dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek
musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak
didengar meskipun tanpa dilagukan.
Makna adalah unsur tujuan dari
pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan
pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi
disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik.
Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense);
media puisi adalah bahasa.
Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus
bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling)
yaitu sikap penyair terhadap pokok
permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa
erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair,
misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial,
kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis,
dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone)
yaitu sikap penyair terhadap
pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat
menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan
pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention)
sadar maupun tidak, ada tujuan
yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari
sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Sedangkan struktur fisik
puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana
yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur
fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Perwajahan puisi (tipografi)
yaitu bentuk puisi seperti halaman
yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya,
hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan
pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi
yaitu pemilihan kata-kata yang
dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya
sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam
puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3) Imaji
yaitu kata atau susunan kata-kata
yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan,
pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji
suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh
(imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat,
mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret
yaitu kata yang dapat ditangkap
dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini
berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata
kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup,
bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif
yaitu bahasa berkias yang dapat
menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu
(Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna
(Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes,
ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis,
alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte,
hingga paradoks.
(6) Versifikasi
yaitu menyangkut rima, ritme, dan
metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah,
dan akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.)
(2) bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang,
sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya
[Waluyo, 187:92])
(3) pengulangan kata/ungkapan.
Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma
sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
0 komentar:
Posting Komentar