1. SINOPSIS
Garin adalah seorang kakek yang datang
ke surau tua dan nyaris ambruk. Diegan keikhlasan hatinya dan izin dari
masyarakat setempat, Garin merawat surau itu hingga surau itu masih
berdiri tegak.
Garin dapat hidup karena sedekah orang
lain. Selain itu Garin juga bekerja sebagai pengasah pisau. Dari
pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, yang berupa uang,
makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan Garin agaknya monoton. Dia
hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau,
beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia
tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak
untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah
terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk
berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat
perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi,
penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa
yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin
rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya.
Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat
pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada
Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan
dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata
manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak
ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal
ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal
itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya
dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan?
Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin
cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan
kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain.
Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin
Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia
dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku
bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku
terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu?
Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena
engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka,
karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi
engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat
kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang
kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya
mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat
universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini
diteima oleh setiap orang.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau
pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga
gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh
cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok
persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya
itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan
terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang
dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan
pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.”
Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang
terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan
dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas
amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang
yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang
kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui
ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda,
tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak
marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah
bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan
baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia
tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok
pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat
sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh,
karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan
dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah
sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu
melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau
biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal
disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin
.…” (hlm. 15).
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.
”…. Kesalahan engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena
itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi
engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi
kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat
itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal
tentang amanat di atas.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk
melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada
tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar
fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus,
hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas
disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan
sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di
dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku.
Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat
buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam
cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah
dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti
berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm.
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya
menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan
sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini
latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan
tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai
Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan
kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13),
termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena
kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain
dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi
sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada
apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan
juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan
berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar,
kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat,
yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang
digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya
itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita
ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan
akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang
tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti
(2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan
panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan
hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian
akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang
terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian
eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan
dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini
berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim
di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan
pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang
biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga
surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak
mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali
sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia
lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia
tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta
tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan
terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
Jika Tuan datang sekarang hanya
akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal
roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm.
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa
yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi
ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat
dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini
memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita
memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak
dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan
jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam
bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa
si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm .
Data konflik ini kemudian diperkuat
dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek.
Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat
tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut
benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk
pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar
kaki Kakek. (hlm.
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi
konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau
kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau
itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek
menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan
mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat,
makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa
yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak
mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi.
Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak
membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada
dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan
cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara
menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata
menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu
terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut
mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru
Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk
membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya.
Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan
akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang
tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini
agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak
bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung
jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas
maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur
flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar
bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan
itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri
surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek…
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya,
ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan
penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya
berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai
berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen
ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh
dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang
menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek
dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan
tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin
tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi
yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek :
“Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,”
kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa
sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak
dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini .
Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini
muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi
disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data
untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si
pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia
lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini
jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai
pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang
diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh
sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini
digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena
tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya
cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita
Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga
dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah
tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk
ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek
yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya
sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ?
tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi.
Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan
begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena
kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan
gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan
diri sendiri.
6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan
yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya
apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya
sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii
agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh
utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di
dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita
tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari
Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh
bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan
tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha
ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan
kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang
pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan
demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang
khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik
oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang
pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau
kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang
menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan
(Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,
Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu,
kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id,
juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan
pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak
jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan
simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya
pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau
keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup
banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya.
Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat.
Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan
keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan
agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam
KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat
serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam
cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara
berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan
di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini
merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran
agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas
ini sangat dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan
demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati
sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu
ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama
kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus
dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra
jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain.
Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat
mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan
pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya
sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di
kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran
tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum
yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen
ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang
Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun
menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam
hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang
ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama
Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan
tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya
terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan
menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang
sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah
kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar
untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU.
Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif
ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun
demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan
lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu
lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.
Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A.
Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini
dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai
bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur
karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu
sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian
awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu
pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara
langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun
berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji
Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika
dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa
yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis
tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu
konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan
perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang
ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar
belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya.
Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum
pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan
sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca
cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang
membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat
dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan
cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya
berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru
harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap
cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa
sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar
berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran
sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada,
yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik
untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan
bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja
hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
0 komentar:
Posting Komentar