Kamis, 03 Mei 2012

CERPEN ANISA WIDIA SUDARMAN


ARTI CINTA KASIH
Anisa Widia Sudarman
                “Rii.” Seseorang memanggil namaku. Otomatis aku pun menoleh kearah datangnya suara itu. Setelah kulihat, ternyata yang memanggilku adalah Yui, salah satu temanku.
            “Apa?” tanya ku singkat. Yui menyodorkan selembar kertas padaku.
            “Ini. Ada rapat buat semua orang tua murid. Kemarin Rii nggak masuk kan.” Kuterima kertas itu. Aku melihatnya sesaat, bukan membacanya.
            “Kalau nggak bisa datang nggak papa?” tanyaku. Yui terlihat heran, lalu dia menggaruk kepalanya.
            “Gimana ya..” gumamnya. “Kalau itu sih aku kurang tau, boleh atau nggak. Kenapa kok kamu nanya gitu?”
            “Kayaknya ibuku nggak bisa datang deh.” Jawabku sambil tersenyum tanpa makna.
            “Ng.. bagusnya kamu nanya wali kelas kita aja deh.” Sarannya. Aku tak membalas apapun. Aku hanya terdiam melihat kertas undangan yang sedang aku bawa ini.
            Nggak mungkin ibu datang, batinku. Sejak ayahku meninggal, aku merasa ibuku semakin sibuk. Ibuku selalu berangkat sebelum aku bangun dan selalu pulang setelah aku tidur. Aku saja sampai lupa kapan terakhir kali aku berbicara dengannya.
            “Rii. Ayo cepat, nanti telat.” Kulihat Yui sudah berjalan jauh. Dia melambaikan tangannya yang berkulit putih. Dengan segera aku berlari kearahnya.
***
            Jam sudah menunjukkan pukul 17:28. Aku sedang dalam perjalan pulang. Kuambil Hp ku dari saku bajuku. Aku ingin menelpon ibuku dan berbicara tentang rapat wali murid itu.
            “Ah, ibu.” Setelah lima menit nada sambung, ibu baru mengangkatnya.
            “Ada apa, Rii? Jangan terlalu lama, ibu masih kerja.”
            “Anu.. minggu depan ada pertemuan wali murid di sekolah. Ibu datang?” tanyaku penuh harap. Ibu terdiam sesaat.
            “Maaf, Rii. Minggu depan ibu harus keluar kota.” Jawabnya. Kecewa, itu yang aku rasakan sekarang.
            “Tapi, bu. Kalau nggak datang…”
            “Apa boleh buat. Ibu masih banyak kerjaan.” Nada bicara ibu meninggi. Rasanya aku jadi mau menangis.
            “Se-selalu saja itu! Kerja! Kerja! Ibu nggak pernah peduli sama aku!” Bentakku. Aku sudah nggak tahan sama ibu.
            “Rii..” Aku matikan Hp ku. Aku sudah nggak mau dengar ibu lagi. Aku berbalik arah. Aku nggak mau pulang ke rumah. Aku akan ke rumah Yui.
***
            “Rii, kamu kok kesini?” tanya Yui. Aku tak menjawab apapun. Pikiranku kosong. “Rii? Kamu ada masalah ya?”
            Aku melihat kearah Yui sebentar. “Aku bertengkar sama ibuku.”
            Yui terdiam. Dia melihat kearahku dengan tatapan heran. “Ayo masuk.”
            Didalam, aku dan Yui hanya diam. Aku nggak tau harus ngomong gimana. Tatapanku hanya tertuju pada segelas es teh yang belum lama Yui hidangkan padaku. Tiba-tiba Yui menepuk pundakku. Aku melihat kearahnya.
            “Kamu serius nggak mau pulang? Pasti ibumu khawatir.” Ucapnya lirih. Aku menggeleng.
            “Nggak mungkin ibu khawatir. Soalnya ibu nggak peduli sama aku.” Mendengar ucapanku, Yui terlihat kaget.
            “Jangan konyol! Mana ada ibu yang nggak khawatir kalau anaknya pergi!”
            “Kamu nggak tau apa-apa! Ibuku lebih peduli sama kerjaannya daripada anaknya!” aku balik membentak. Rasanya jantungku mau pecah. Terlalu banyak beban batin yang aku dapatkan.
            “Kamu yang nggak tau apa-apa, Rii. Ibumu kerja itu juga buat kamu.” Suara Yui melunak. Aku melihat kearah Yui dengan mata berkaca-kaca. “Sekarang, pergilah ke rumahmu. Aku yakin ibumu pasti nyari kamu.” Sarannya. Secepat mungkin aku berlari kearah pintu depan.
            “Makasih, Yui.” Ucapku. Sesaat Yui terlihat kaget, lalu dia tersenyum.
            “Iya. Nggak masalah kok.” Ucapnya. Makasih, Yui. Aku bersyukur banget punya teman kayak kamu.
            Aku terus berlari. Sakitnya kakiku nggak aku hiraukan. Yang ada dalam pikiranku sekarang hanya ingin ketemu ibu. Aku terkejut. Rumahku masih sangat jauh, tapi sudah kulihat sosok ibuku yang sedang bertanya pada orang-orang sekitar. Dia sedang menunjukkan sehelai foto pada orang-orang yang dia tanyai. Wajahnya yang berekspresikan kecemasan, penuh dengan keringat. Kulihat luka bekas tergores tanah di kakinya. Luka baru. Ibu.. berlari dari rumah menuju kesini..
            “Ibu!” mendengar suaraku, ibu langsung menoleh. Wajahnya terlihat kaget, tapi juga terlihat sedikit lega. Dia berlari kearahku.
            Plak!
            Aku terkejut. Kupegang pipiku yang panas. Ibu menamparku. Lalu.. memelukku. Kudengar isakan tangisnya. Membuat tangisku pecah.
“Ibu kira, kamu tidak akan pulang. Ibu cemas, Rii.” Ucap ibu dengan suara lirih. “Maaf, Rii.. ibu tak pernah menghiraukanmu.”
            “Nggak. Aku yang salah. Aku terlalu egois.” Ibu melepaskan pelukannya. Lalu menggandengku pulang.
            “Berarti kita semua salah. Mulai sekarang kita harus instropeksi diri supaya tidak terulang lagi. Sekarang masih hari valentine kan. Ayo kita rayakan sama-sama.” Ibu tersenyum. Menurutku, itu adalah senyumnya yang termanis.
            Aku mengusap air mataku, lalu membalas senyumnya. “Iya.”
            Saat ini aku menyadari sesuatu. Kita harus saling mengerti satu sama lain. Janganlah membuat orang yang kita sayangi merasa sedih. Karena kita tidak akan pernah tau kapan umur kita akan berakhir.

0 komentar:

Posting Komentar