Kategori: Buku-buku Jenis Sastra & Fiksi
Penulis: Linus Suryadi Ag
Batiniah Perempuan Jawa Judul : Pengakuan Pariyem
Pengarang : Linus Suryadi Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta Tahun : 1980
Penulis: Linus Suryadi Ag
Batiniah Perempuan Jawa Judul : Pengakuan Pariyem
Pengarang : Linus Suryadi Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta Tahun : 1980
CABUL ! Demikian seru pejabat publik di
kota Yogyakarta ketika prosa lirik ini terbit. Uang pajak rakyat
digelontorkan kepada seorang pejabat tolol yang tak bisa membedakan seni
berkata-kata dan stensil erotik. Tak punya jiwa dan empati. Si
birokrat-militeristik ini telah memalukan jagad kesenian Yogakarta. Toh
walau begitu, Linus mendapat ‘permintaan maaf’ dengan hadiah satra dari
Pemprov Yogyakarta tahun 1984, 4 tahun berselang setelah Pengakuan
Pariyem terbit. “Pariyem nama saya. Lahir di Wonosari Gunung Kidul
pulau Jawa. Tapi kerja di kota pedalaman Yogyakarta”. demikian novel ini
dibuka, lalu diulang-ulang dalam tiap pergantian kisah. Semacam lirik
yang ditulis Linus, ya memang beberapa kalangan menamakannya prosa
lirik-cerita berlirik. Tak melulu AABB / ABAB / AAAA seperti pantun kuno
yang diajarkan di sekolah dasar dulu, tapi lebih bebas, tanpa
meninggalkan spirit perpantunan, yaitu kata-kata ringkas dan cerdas.
Seperti membaca suatu laporan jurnalisme sastrawi dalam tiap baris
liriknya. Pengaruh dari Persada Studi Klub, asuhan Umbu Landu Paranggi
tahun 1969 di Malioboro menorehkan kedekatan karya antara kedua seniman
Malioboro tersebut. Awal pertama dimulai Linus dengan cerita
asal-muasal Pariyem, dari Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur
Yogyakarta, deretan Pegunungan Seribu yang kering tandus. Disana Pariyem
lahir, dibesarkan dan mencecap masa kanak-kanak yang ceria. Pariyem
mengaku sebagai Katolik, sebuah identitas keagamaan yang lumrah bagi
kalangan disana paska 66, untuk menghidari sangkaan sabagai orang
komunis. Sebagai suatu keluarga besar yang dekat dengan seni
‘kerakyatan’ (ayahnya pemain ketoprak, ibunya sinden), tak pelak lagi
merupakan target utama pembantaian, walau keluarga mereka tak tahu
apa-apa tentang politik Jakarta. Era tahun 1980-an, yang marak dengan
petrus (penembakan misterius) mengilhami Linus untuk membaca ulang
pembantaian paska 66 dengan novel ini. Sejarah berdarah-darah yang sama
telah berulang, dengan kemasan yang lebih rapi , sistematik dan gelap.
Setelah melapor sini-situ,apel disana-sini, maka orang tua Pariyem
kembali hidup jadi petani “tapi cuma menggarap bengkok pak Sosial” ujar
Pariyem. Dari seniman ke buruh tani. “Dan agama, apakah agama ?
Pertanyaan itu bergaung dalam sanubari saya Suka menggelitik dan
merongrong jiwa pula Bikin kusut pikiran, kemelut perasaan Sembab mata
dan boyak telinga Bila dialamatkan ke dalam Tapi bila dialamatkan keluar
: Orang bertentangan tak ada habisnya …” Suasana kejawaan kental
meliputi keseluruhan novel. Mulai dari awal lahirnya Pariyem sampai
kehidupan di kota, sebagai babu. Geertz dengan studi Mojokuto-nya mebuat
babakan baru tentang studi antropologi jawa, lalu Linus menyusulnya
dengan prosa liriknya. Bedanya Geertz serius berteori, tetapi Linus
hanya menuliskan nalar dan batin orang jawa bekerja, lewat prosa lirik.
Pariyem lahir, diikuti oleh serangkaian upacara jawa : slametan
(syukuran) dengan bermacam-macam sesajen, lalu perlakuan yang khas jawa
lainnya. Linus menyinggung sekilas ‘kekatolikan’ di sini, hanya pada
saat pembabtisan (pengesahan menjadi seorang beragama katolik).
Menariknya, dia menamakan kaum seperti Pariyem itu ‘katolik kejawen”,
gado-gado antara katolik dengan adat setempat. Hal yang lumrah di
pedesaan tanah jawa. Selain itu, islam jawa pun banyak dianut oleh
masyarakat jawa juga. Geertz-Linus sepaham tentang agama local. Maria
Madgalena Pariyem lengakpnya, Maria Magdalena ? Ah itu kan lonte yang
bertobat di Injil. Linus mengolok-olok kehidupan, bagaimana seorang
lonte berkhotbah tentang kehidupan dan kesetiaan ? Pemahaman batiniah
tentang jagad gede (dunia besar) dan jagad cilik (dunia kecil) bagi
Pariyem membawa dia dari kehidupan Wonosari yang “bahagia walau tanpa
kemewahan” ke lingkungan priyayai keraton, rumah keluarga besar Kanjeng
Raden tumenggung Cokro Sentono. Disini, kemudian nalar dan batiniah jawa
yang dituliskan Linus menemukan prakteknya yang lebih kongkrit :
susah-gembira, kawula-gusti (rakyat-penguasa), mati-lahir, seperti suatu
jagad yang saling muncul-berimbang. Dari titik itu (jagad kecil), rumah
kanak-kanak di Wonosari, ada jagad gede (jagad besar) dimana Pariyem
hidup (sebagai babu di Ndalem Suryomentaraman Yogyakarta). Pariyem
menjadi bagian disana, sebagai seorang perempuan babu yang pasrah pada
kekuasaan priyayi. Khas seorang perempuan jawa yang jarang tampil di
depan public, tapi mereka berpengaruh pada kehidupan domestik. Raden
Sentono yang merupakan pensiunan sibuknya bukan main, berkeliling
sana-sini, menjumpai banyak tamu dari kalangan pemerintahan sampai
rakyat kebanyakan, merupakan suami dari Raden Kanjeng Ayu yang “doyan
jamu” (suka minum jamu). Seperti jagad cilik, disitu ada keluarga dan
jagad gede, disitu ada masyarakat. Bagi Linus, dengan cara itulah sebuah
keluarga jawa terbentuk. Potret jawa modern pun ditampilkan Linus,
dengan menceritakan dua anak dari Raden Cokro Sentono, yaitu Raden bagus
Ario Atmojo dan Ndoro Putri Wiwit Setiowati. Mereka kuliah, calon
sarjana, menempel poster artis idola dikamar mereka, merokok sigaret dan
melanglang buana naik motor ke pelosok kota Yogya, layaknya orang muda
haus hal-hal baru. Khas generasi pertama keluarga jawa modern yang
sedang menemukan adaptasi modernisasi yang dirasa pas, dan tentu tak
lupa tradisi. Atmojo yang terampil berpantun jawa dan Setiowati yang
luwes menari jawa. Betapa semua yang mereka miliki jadi anti-tesis
modernisasi yang melanda kota Yogyakarta pada era 80-an. Modern, tapi
kosong, tak berjiwa. Linus ingin memperlihatkan kemampuan adaptasi orang
jawa dengan penerimaan mereka terhadap suatu yang baru yang
dikondisikan sesuai dengan kebutuhan mereka. Terutama soal seks. Ya,
ini yang tabu dibicarakan, tetapi tak disangkal dan ditutupi
keberadaannya. Kondisi perpolitikan gaya jawa, yang ‘rukun’, tapi
sebenarnya penuh konflik. Wacana seks yang ‘terencana dan patuh’,
seperti KB jaman Orba dijungkirbalikkan oleh Pariyem yang melukiskan
percintannya pertama kali dengan Kang Kliwon yang berdebar, lalu
berlanjut dengan Atmojo yang awalnya serba liar keburu nafsu, tetapi
pada akhirnya posisinya sebagai perempuan jawa ‘menerima dengan pasrah’
keliaran nafsu Atmojo tersebut. Linus, beberapa kali menuliskan dengan
jahil ‘anunya besar-penthil diisap-anunya dipegang’, lugu, lugas dan
menggelitik. Pariyem akhirnya menjadi selir Atmojo, seperti Sentono yang
juga punya banyak selir. Berbekal pengetahuan dan keteguhan hati,
Setiowati malah teratur mengkonsumsi pil ‘APEM, anti perempuan hamil’.
Wacana seks yang didominasi oleh priyayi laki-laki jawa, pada generasi
keluarga modern jawa pertama juga ditulis ulang oleh para perempuan.
Linus sekali lagi ingin berbicara seks dengan jujur dan purba, yaitu
terjadi karena ‘tresna’, yang oleh katalog buku diterjemahkan sebagai
‘cinta batiniah’. Cinta Pariyem pada kang Kliwon, pada awalnya, kemudian
pada Atmojo, pada akhirnya, lalu cinta Satiowati entanh dengan siapa.
Kontradiksi seks antar keturunan pada keluarga jawa. Butuh waktu tiga
tahun bagi Linus untuk memulis semuanya dengan lengkap dan terperinci.
Tak lupa Linus berbicara tentang detail, seperti lokasi biskop, riuhnya
Mauludan Sekaten, situasi ruman Ndalem Suryomentaraman, gerak-gerik
tuannya ketika berbicara sampai persetubuhan percintaan Pariyem yang
dilukiskan dengan indahnya. Sebuah karya yang melukiskan suasana jawa
yang rukun, tapi dalam prakteknya penuh konflik. Jawa yang hidup dengan
batin, tetapi dalam praksisnya berhadapan dengan dunia yang pragmatis.
Saya rasa Pariyem adalah perempuan jawa gelisah, babu yang tak kuasa
membuat perubahan, hanya pasrah sembari bertanya-tanya. “Ya, ya,
sebagai orang barat Dan, ah, ya, sebagai orang timur Mestilah lebur
dalam perkawinan Dibulatkan oleh perikemanusiaan Dengan bahu membahu
bergerak-tegak- Mengarak panji-panji kehidupan”
0 komentar:
Posting Komentar